Bandung

Bandung
Bandung

Sabtu, 17 Maret 2012

Prgmatik


Laporan Tugas Kelompok Pragmatik


Laporan Tugas Kelompok
1.         Tindak Tutur
1)         Tindak Tutur Representatif
Tindak representatif yaitu tindak yang menjelaskan apa dan bagaimana sesustu itu adanya. Termasuk dalam tindakan ini misalnya mengemukakan, menjelaskan, menyatakan, dan menunjuk.
Contohnya :
A : “Pensil itu bukan milik saya”
B : “Lalu milik siapa?”
A : “Saya tidak tahu.”
Dari percakapan singkat di atas, bahwa A menyatakan bahwa pensil itu bukan miliknya dan A mengemukakan bahwa ia tidak tahu siapa yang sebenarnya memiliki pensil itu.
2)         Tindak Tutur Ekspresif
                        Tindak ekspresif yaitu tindak tutur yang menyangkut perasaan dan sikap. Tindak tutur ini misalnya berupa tindakan meminta maaf, berterima kasih, mengadukan, menyampaikan, ucapan selamat, mengkritik dan sebagainya. Tindak ekspresif ini berfungsi untuk mengekspresikan dan mengungkapkan sikap psikologis pembicara terhadap lawan bicara.
Contohnya :
A :”Bolehkah saya meminjam buku novel Harry Potter punya kamu?”
B :”tentu saja boleh, tapi setelah saya selesai membacanya.”
A : “terima kasih”
A :”kapan akan selesai dibaca?”
B :”insya allah hari rabu depan.”
Dalam pemenggalan percakapan di atas terdapat adanya tindak tutur berterima kasih, sebagai salah satu contoh tindak ekpresif.
3)         Tindak Tutur Komosisif
      Tindak komisif yaitu tindak tutur yang berfungsi mendorong pembicara melakukan sesuatu misalnya bersumpah dan berjanji.
Contohnya :
A : “Saya berjanji bersumpah tidak akan menceritakan masalah ini kepada siapapun, percayalah!”
B : “Baiklah kalau begitu saya akan menceritakannya kepadamu”.
Dari percakapan di atas menunjukkan bahwa A melakukan tindak tutur berjanji kepada B untuk tidak menyebarluaskan masalah tertentu karena A ingin mengetahuinya.
4)         Tindak Tutur Direktif
      Tindak Direktif yaitu tindak tutur yang berfungsi mendorong penanggap tutur melakukan sesuatu, misalnya mengusulkan, memohon, memerintah, mendesak, menentang. Dengan kata lain yang bisa memerintah lawan tutur melakukan suatu tindakan verbal maupun non verbal.
Contohnya :
A : “bawakan buku itu untuk saya!”
B : “apa dikira saya ini pembantu?” (walaupun begitu B bergegas mengambil buku juga).
2.         Prinsip-prinsip Kerjasama Grice
3.         1) Inflikatur dan Eksflikatur
2) Praanggapan
Jika suatu kalimat diucapkan, selain dari makna yang dinyatakan dengan pengucapan kalimat itu, turut tersertakan pula tambahan makna, yang tidak dinyatakan, tetapi tersiratkan dari pengucapan kalimat itu. Pengertian inilah yang dimaksud dengan praanggapan. Kalimat yang dututurkan dapat dinilai tidak relevan atau salah bukan hanya karena pengungkapannya yang salah melainkan juga karena praanggapannya yang salah. “Presuppositions are what is taken by speaker to be the common ground of the participants in a conversation” (Stalnaker, 1987: 321). Menurut Stalnaker, praanggapan adalah apa yang digunakan oleh pembicara sebagai dasar utama bagi lawan bicara dalam percakapan. Nababan (1987: 46), memberikan pengertian praanggapan sebagai dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa (menggunakan bahasa) yang membuat bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar atau penerima bahasa itu dan sebaliknya, membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat dipakainya untuk mengungkapkan makna atau pesan yang dimaksud.
Contoh;
“itu bangkai. Pantas bau”
“itu bunga. Pantas wangi”
3) Entelmen
5. Teori Hedges (tamengan)
            Tamengan (hedges) adalah salah satu parameter apakah suatu tuturan itu mematuhi atau melanggar bidal kuantitas baik tuturan langsung maupun tidak langsung (Yule, 1996).
Contoh :
“setahu saya mungkin sebentar lagi mereka akan menikah”

6. Teori CDA (Critical Discourse Analysis)
          "Critical Discourse Analysis" (CDA) yang dipopulerkan oleh Van Dijk (1978) CDA sudah membuat kajian bahasa menjadi alat interdisipliner dan digunakan oleh para ahli dengan bermacam-macam latar belakang, termasuk kritik media. Van Dijk mengidentifikasi adanya lima karakteristik yang harus dipertimbangkan di dalam CDA yaitu; tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideology. Yang paling signifikan lagi adalah bahwa CDA menawarkan kesempatan untuk mengangkat perspektif sosial di dalam studi teks media antar budaya, seperti kajian wacana politik, yang berbeda dengan analisis teks secara linguistik, pragmatik, dan sosiolinguistik. Sementara kebanyakan bentuk analisis wacana bertujuan untuk memahami aspek sosio-kultural wacana, CDA bertujuan untuk menjelaskan perwujudan, struktur internal, dan susunan teks secara keseluruahan.  Salah satu  perbedaan utama adalah bahwa CDA bertujuan untuk mengeriktik deskripsi dan teori wacana. Ada tiga pertanyaan dasar kajian CDA:
1.                  Bagaimana kelompok yang (lebih) kuat mengontrol wacana publik?
2.                  Bagaimana wacana yang demikian mengontrol pikiran dan tindakan kelompok yang (lebih lemah) dan apa dampak sosial pengontrolan yang demikian, seperti kesenjangan sosial?
3.                  Bagaimana kelompok yang didominasi secara tidak langsung menantang kekuatan tersebut.



Daftar Rujukan
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Penerbit Angkasa.
Wijana, I Dewa Putu.1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset.
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford. Oxford University Press.
http:www.hum.uva.nl/teun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar