Teori Feminisme
Feminis berasal dari kata ”Femme”
(woman), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak
kaum perempuan (jamak) sebagai kelas sosial (Ratna, 2004: 184). Tujuan feminis
menurut Ratna (2004: 184) adalah keseimbangan interelasi gender. Feminis
merupakan gerakan yang dilakukan oleh kaum wanita untuk menolak segala sesuatu
yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan yang
dominan, baik dalam tataran politik, ekonomi, maupun kehidupan sosial lainnya.
Pada dasarnya gerakan feminisme ini muncul karena adanya dorongan ingin
menyetarakan hak antara pria dan perempuan yang selama ini seolah-olah
perempuan tidak dihargai dalam pengambilan kesempatan dan keputusan dalam
hidup. Perempuan merasa terkekang karena superioritas laki-laki dan perempuan
hanya dianggap sebagai ”bumbu penyedap” dalam hidup laki-laki. Adanya pemikiran
tersebut tampaknya sudah membudaya sehingga perempuan harus berjuang keras
untuk menunjukkan eksistensi dirinya di mata dunia.
Menurut Teew (dalam Ratna, 2004:
183-184) ada beberapa indikator yang dianggap telah memicu lahirnya gerakan
feminis di dunia barat, yaitu:
a.
Berkembangnya teknik kontrasepsi, yang memungkinkan perempuan melepaskan diri
dari kekuasaan laki-laki.
b. radikalisasi politik, khususnya sebagai akibat perang
Vietnam,
c.
lahirnya gerakan pembebasan,
d. sekularisasi,
e. perkembangan pendidikan
yang khusus dinikmati perempuan,
f.
reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari struktur sosial
seperti kritik baru dan strukturalisasi,
g.
ketidak puasan terhadap teori dan praktik ideologi marxis orthodoks.
Adanya
gerakan feminis di Barat tersebut membawa dampak yang luas ke berbagai negara
lain, khusunya di Indonesia. Hal ini mulai ditandai dengan munculnya karya
sastra yang bernada feminisme. Sebut saja Ayu Utami dengan Saman dan Larungnya,
Djenar Maesa Ayu dengan Kumpulan Cerita Cinta Pendek dan di bidang puisi
ada Abidah El-Khalieqy dan Dorothea Rosa Herliany yang kumpulan puisinya akan
dijadikan sumber penelitian kali ini.
Jadi
bisa dikatakan bahwa gerakan feminis adalah suatu gerakan untuk mendobrak
tataran sosial secara keseluruhan terhadap nilai-nilai perempuan agar
mendapatkan kedudukan dan derajat yang sama baik dalam bidang sosial pilitik,
ekonomi, dan hukum seperti yang diperoleh oleh laki-laki selama ini.
Menurut
Ratna (2005: 226) gerakan feminis secara khusus menyediakan konsep dan teori dalam kaitannya
dengan analisis kaum perempuan. Sedangkan Ritzer dalam Ratna (2005: 231)
feminis termasuk teori sosial kritis, teori yang melibatkan diri dalam
persoalan pokok dalam konteks sosial, politik, ekonomi, dan sejarah, yang
sedang dihadapi oleh kelompok-kelompok yang berada dalam kondisi tertindas.
Dalam pandangan studi kultural, ada lima politik budaya feminis, yaitu a)
feminis liberal, memberikan intensitas pada persamaan hak, baik dalam pekerjaan
maupun pendidikan, b) feminis radikal, berpusat pada akar permasalahan yang
menyebabkan kaum perempuan tertindas, yaitu seks dan gender, c) feminis sosialis
dan Marxis, yang pertama memberikan intensitas pada gender, sedangkan yang
kedua pada kelas, d) feminis postmodernis, gender dan ras tidak memiliki makna
yang tetap, sehingga seolah-olah secara alamiah tidak ada laki-laki dan
perempuan, dan e) feminis kulit hitam dan non Barat dengan intensitas pada ras
dan kolonialisme (Ratna, 2005:228).
Dalam
dunia sastra, feminisme dapat digunakan sebagai pendekatan dalam kritik sastra.
Seperti yang diungkapkan oleh Kolodny dalam Djajanegara (2000: 19) menyatakan
bahwa kritik sastra feminis membeberkan perempuan menurut stereotip seksul,
baik dalam kesusastraan maupun dalam kritik sastra, dan juga menunjukkan bahwa
aliran-aliran serta cara-cara yang tidak memadai telah (digunakan untuk)
mengkaji tulisan perempuan secara tidak adil, tidak peka.
Sugihastuti
(2002: 140) mengungkapkan bahwa kritik sastra feminis adalah sebuah kritik
sastra yang memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin
yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan manusia.
Dengan
mengacu pada pendapat Sugihastuti di atas, Kolodny dalam Djajanegara (2000:
20-30) menjelaskan beberapa tujuan dari kritik sastra feminis yaitu:
a.
dengan kritik sastra feminis kita mampu menafsirkan kembali serta menilai
kembali seluruh karya sastra yang dihasilkan di abad silam;
b.
membantu kita memahami, menafsirkan, serta menilai cerita-cerita rekaan penulis
perempuan.
Berkaitan
dengan cara penilaian, Djajanegara (2000: 28-36) membagi ragam kritik sastra
feminis menjadi enam bagian, yaitu:
a.
kritik sastra feminis ideologis: kritik sastra yang memusatkan perhatian pada
citra serta stereotip perempuan dalam karya sastra, meneliti kesalahpahaman
tentang perempuan dan sebab-sebab perempuan sering tidak diperhitungkan, bahkan
nyaris diabaikan dalam kritik sastra;
b.
kritik sastra feminis ginokritik: kritik sastra yang mencoba mencari jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti apakah para perempuan penulis
merupakan kelompok khusus, dan ada perbedaan antar tulisan perempuan dan
tulisan laki-laki;
c.
kritik sastra feminis sosial atau kritik sastra marxis: kritik sastra feminis
yang meneliti tokoh-tokoh pertempuan dari sudut pandang sosialis, yaitu
kelas-kelas masyarakat;
d.
kritik sastra feminis psikoanalisis: kritik sastra yang cenderung diterapkan
pada tulisan-tulisan perempuan yang menampilkan tokoh-tokoh perempuan, karena
para feminis percaya bahwa pembaca perempuan biasanya mengidentifikasi dirinya
dengan tokoh-tokoh perempuan yang dibacanya;
e.
kritik sastra feminis lesbian: kritik sastra feminis yang hanya meneliti
penulis dan tokoh perempuan saja. Pengkritik sastra lesbian memiliki tujuan
mengembangkan definisi ioni dapat diterapkan pada diri penulis atau karyanya.
Namun karena beberapa faktor, kritik ini masih sangat terbatas kajiannya;
f.
kritik sastra feminis ras atau kritik sastra feminis etnik: kritik sastra
feminis yang ingin membuktikan kebenaran sekelompok penulis feminis etnik
beserta karya-karyanya.
Endraswara
(2003: 146) mengungkapkan bahwa dalam menganalisis karya sastra dalam kajian
feminisme yang difokuskan adalah:
a. kedudukan dan peran tokoh perempuan
dalam sastra,
b.
ketertinggalan kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan
dan aktivitas kemasyarakatan,
c. memperhatikan faktor pembaca
sastra, bagaimana tanggapan pembaca terhadap emansipasi wanita dalam sastra.
Dalam penelitian ini yang menjadi
fokus dalam menganalisis kumpulan puisi karya Dorothea Rosa Herliany ini
ditekankan pada faktor pembaca sastra tentang tanggapan terhadap gender dan
emansipasi wanita dalam bait-bait puisi tersebut. Lebih tepatnya, Culler dalam
Sugihastuti (2002: 139) bahwa konsep yang menggunakan kritik sastra feminis
yang demikian disebut konsep reading as woman. Konsep yang sekiranya pantas digunakan
untuk membongkar hegemoni laki-laki yang patriarkal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar