Bandung

Bandung
Bandung

Sabtu, 17 Maret 2012

Feminisme


Teori Feminisme

Feminis berasal dari kata ”Femme” (woman), berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak) sebagai kelas sosial (Ratna, 2004: 184). Tujuan feminis menurut Ratna (2004: 184) adalah keseimbangan interelasi gender. Feminis merupakan gerakan yang dilakukan oleh kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan yang dominan, baik dalam tataran politik, ekonomi, maupun kehidupan sosial lainnya. Pada dasarnya gerakan feminisme ini muncul karena adanya dorongan ingin menyetarakan hak antara pria dan perempuan yang selama ini seolah-olah perempuan tidak dihargai dalam pengambilan kesempatan dan keputusan dalam hidup. Perempuan merasa terkekang karena superioritas laki-laki dan perempuan hanya dianggap sebagai ”bumbu penyedap” dalam hidup laki-laki. Adanya pemikiran tersebut tampaknya sudah membudaya sehingga perempuan harus berjuang keras untuk menunjukkan eksistensi dirinya di mata dunia.
Menurut Teew (dalam Ratna, 2004: 183-184) ada beberapa indikator yang dianggap telah memicu lahirnya gerakan feminis di dunia barat, yaitu:
a. Berkembangnya teknik kontrasepsi, yang memungkinkan perempuan melepaskan diri dari kekuasaan laki-laki.
b. radikalisasi politik, khususnya sebagai akibat perang Vietnam,                      
c. lahirnya gerakan pembebasan,
d. sekularisasi,
e. perkembangan pendidikan yang khusus dinikmati perempuan,
f. reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari struktur sosial seperti kritik baru dan strukturalisasi,
g. ketidak puasan terhadap teori dan praktik ideologi marxis orthodoks.
Adanya gerakan feminis di Barat tersebut membawa dampak yang luas ke berbagai negara lain, khusunya di Indonesia. Hal ini mulai ditandai dengan munculnya karya sastra yang bernada feminisme. Sebut saja Ayu Utami dengan Saman dan Larungnya, Djenar Maesa Ayu dengan Kumpulan Cerita Cinta Pendek dan di bidang puisi ada Abidah El-Khalieqy dan Dorothea Rosa Herliany yang kumpulan puisinya akan dijadikan sumber penelitian kali ini.
Jadi bisa dikatakan bahwa gerakan feminis adalah suatu gerakan untuk mendobrak tataran sosial secara keseluruhan terhadap nilai-nilai perempuan agar mendapatkan kedudukan dan derajat yang sama baik dalam bidang sosial pilitik, ekonomi, dan hukum seperti yang diperoleh oleh laki-laki selama ini.
Menurut Ratna (2005: 226) gerakan feminis secara khusus menyediakan konsep dan teori dalam kaitannya dengan analisis kaum perempuan. Sedangkan Ritzer dalam Ratna (2005: 231) feminis termasuk teori sosial kritis, teori yang melibatkan diri dalam persoalan pokok dalam konteks sosial, politik, ekonomi, dan sejarah, yang sedang dihadapi oleh kelompok-kelompok yang berada dalam kondisi tertindas. Dalam pandangan studi kultural, ada lima politik budaya feminis, yaitu a) feminis liberal, memberikan intensitas pada persamaan hak, baik dalam pekerjaan maupun pendidikan, b) feminis radikal, berpusat pada akar permasalahan yang menyebabkan kaum perempuan tertindas, yaitu seks dan gender, c) feminis sosialis dan Marxis, yang pertama memberikan intensitas pada gender, sedangkan yang kedua pada kelas, d) feminis postmodernis, gender dan ras tidak memiliki makna yang tetap, sehingga seolah-olah secara alamiah tidak ada laki-laki dan perempuan, dan e) feminis kulit hitam dan non Barat dengan intensitas pada ras dan kolonialisme (Ratna, 2005:228).
Dalam dunia sastra, feminisme dapat digunakan sebagai pendekatan dalam kritik sastra. Seperti yang diungkapkan oleh Kolodny dalam Djajanegara (2000: 19) menyatakan bahwa kritik sastra feminis membeberkan perempuan menurut stereotip seksul, baik dalam kesusastraan maupun dalam kritik sastra, dan juga menunjukkan bahwa aliran-aliran serta cara-cara yang tidak memadai telah (digunakan untuk) mengkaji tulisan perempuan secara tidak adil, tidak peka.
Sugihastuti (2002: 140) mengungkapkan bahwa kritik sastra feminis adalah sebuah kritik sastra yang memandang sastra dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan manusia.
Dengan mengacu pada pendapat Sugihastuti di atas, Kolodny dalam Djajanegara (2000: 20-30) menjelaskan beberapa tujuan dari kritik sastra feminis yaitu:
a. dengan kritik sastra feminis kita mampu menafsirkan kembali serta menilai kembali seluruh karya sastra yang dihasilkan di abad silam;
b. membantu kita memahami, menafsirkan, serta menilai cerita-cerita rekaan penulis perempuan.
Berkaitan dengan cara penilaian, Djajanegara (2000: 28-36) membagi ragam kritik sastra feminis menjadi enam bagian, yaitu:
a. kritik sastra feminis ideologis: kritik sastra yang memusatkan perhatian pada citra serta stereotip perempuan dalam karya sastra, meneliti kesalahpahaman tentang perempuan dan sebab-sebab perempuan sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan dalam kritik sastra;
b. kritik sastra feminis ginokritik: kritik sastra yang mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti apakah para perempuan penulis merupakan kelompok khusus, dan ada perbedaan antar tulisan perempuan dan tulisan laki-laki;
c. kritik sastra feminis sosial atau kritik sastra marxis: kritik sastra feminis yang meneliti tokoh-tokoh pertempuan dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat;
d. kritik sastra feminis psikoanalisis: kritik sastra yang cenderung diterapkan pada tulisan-tulisan perempuan yang menampilkan tokoh-tokoh perempuan, karena para feminis percaya bahwa pembaca perempuan biasanya mengidentifikasi dirinya dengan tokoh-tokoh perempuan yang dibacanya;
e. kritik sastra feminis lesbian: kritik sastra feminis yang hanya meneliti penulis dan tokoh perempuan saja. Pengkritik sastra lesbian memiliki tujuan mengembangkan definisi ioni dapat diterapkan pada diri penulis atau karyanya. Namun karena beberapa faktor, kritik ini masih sangat terbatas kajiannya;
f. kritik sastra feminis ras atau kritik sastra feminis etnik: kritik sastra feminis yang ingin membuktikan kebenaran sekelompok penulis feminis etnik beserta karya-karyanya.
Endraswara (2003: 146) mengungkapkan bahwa dalam menganalisis karya sastra dalam kajian feminisme yang difokuskan adalah:
a. kedudukan dan peran tokoh perempuan dalam sastra,
b. ketertinggalan kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan, termasuk pendidikan dan aktivitas kemasyarakatan,
c. memperhatikan faktor pembaca sastra, bagaimana tanggapan pembaca terhadap emansipasi wanita dalam sastra.
Dalam penelitian ini yang menjadi fokus dalam menganalisis kumpulan puisi karya Dorothea Rosa Herliany ini ditekankan pada faktor pembaca sastra tentang tanggapan terhadap gender dan emansipasi wanita dalam bait-bait puisi tersebut. Lebih tepatnya, Culler dalam Sugihastuti (2002: 139) bahwa konsep yang menggunakan kritik sastra feminis yang demikian disebut konsep reading as woman. Konsep yang sekiranya pantas digunakan untuk membongkar hegemoni laki-laki yang patriarkal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar